Penunjuk Waktu yang Membisu


Keramaian Kota Depok tampak semakin surut. Kemacetan kendaraan sedikit demi sedikit berlalu dari pandanganku. Sementara aku masih terpaku di halte angkot tempat dimana aku setiap hari menunggu angkutan kota yag setia megantarku pulang dan pergi dari Bojong Gede ke ITC Depok. Sementara gerimis seolah setia menemaniku. Sayup-sayup terdengar suara tape recorder dari balik gerobak rokok samping halte yang baru saja menutup daganganya, menyanyikan tembang kenangan.

Sebagai karyawan counter HP milik temanku yang berlokasi di lantai 3 ITC Depok, aku selalu bergerak pada garis edar waktu yang seolah tidak mau beranjak dari suratan takdir-Nya. Pagi aku berangkat menuju tempat kerjaku, dan malampun aku baru bisa kembali ke rumah. Semuanya aku jalani dengan penuh rasa syukur. Aku bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan padaku untuk mengais rizki sekedar mempertahakan hidup, memainkan pertarungan demi mempertahankan harga diri, agar aku tidak terjebak pada perbuatan dosa, kotor, dan nista.

Terlintas dalam pikiranku dengan perasaan sedikit cemburu, tentang beberapa nama teman-teman SD ku yang kini sudah menjadi orang-orang sukses jauh melampaui keadaanku. Punya penghasilan cukup, Punya mobil, rumah di perumahan elite, pakaian mentereng, HP bermerek lebih dari satu, dan tidak ketinggalan note book selalu menemaniya dalam setiap kesempatan. “Sukses dalam materi,” paling tidak itu yang bisa aku lihat secara kasat mata. Walau terkadang saban waktu mereka datang ke rumahku yang lebih pantas dikatakan gubuk reot, sekedar berbagi cerita tentang problema rumah tangganya. Bahkan tidak jarang dari mereka memuji-muji aku dan keluargaku, yang dalam pandangan mereka rukun dan damai seolah tidak ada problem keluarga, atau dalam bahasa agamanya “sakinah mawaddah warahmah”.

“Maaf pak, jam berapa ya?”

Pertanyaan itu menyentak lamunaku. Aku sendiri tidak menyadari kalau disampingku sudah ada laki-laki paruh baya dengan sebuah koper di tangannya. Sepertinya dia ingin melakukan bepergian jauh.

“Wah saya gak bawa jam pak.” Jawabku singkat.

“Waduh saya ini sedang ditunggu sama anak saya di bandara Jam 12 malam ini, tapi saya gak tahu jam berapa sekarang.” Tampak gelisah si bapak sambil tengok kiri dan tengok kanan seperti sedang menunggu sesuatu.

Saya teringat kalau di dekat halte itu ada tugu yang ada penunjuk waktunya.

“Sebentar pak, saya lihat dulu jamnya.”

Aku beranjak sedikit untuk melihat jam yang bertengger di tugu tepat di tengah-tengah pertigaan arah terminal Depok-Bojong dan arah Depok 2. Aku ingin memastikan apakah jam itu masih berfungsi atau tidak. Betapa pentingnya penunjuk waktu pada saat itu. Si Bapak paruh baya itu tidak ingin ketinggalan take off di bandara bersama anaknya yang mungkin gelisah menunggu kedatangannya, entah mau pergi kemana mereka. Yang pasti aku benar-benar kecewa. Harapanku untuk berbuat baik pada si Bapak dengan membantu mencari tahu tentang datangnya sang waktu, ternyata penunjuk waktu itu membisu.

Baru saja aku mendekat kembali pada si bapak untuk memberitahu bahwa jam yang aku intip tidak berfungsi, sebuah taksi berwarna biru berhenti menuruti keinginan si bapak untuk segera menaikinya. Begitu terburu-burunya, si bapak belum sempat pamit padaku. Hanya lambaian tangan yang mengisyaratkan ucapan selamat tinggal.

Kini aku kembali terpaku sendiri. Gerimis belum lagi reda, sementara angin bertiup menusuk sumsumku. Dalam pikiranku kini dipenuhi berbagai cerita tentang jam. Tentang merek-merek jam, warna jam, ukuran jam, harga jam sampai tukang-tukang sevice jam yang selalu hilir mudik saban minggu di depan gubukku.

Banyak tragedi datang silih berganti, sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari sebuah jam. Suatu ketika ada berita di koran Ibu Kota, tentang tragedi kereta yang merenggut nyawa seorang ibu yang sedang hamil tua. Tragedi itu terjadi karena si ibu lupa jadwal kedatangan kereta, ketika ia menyebrang di perlintasan kereta cepat Jakarta-Surabaya, yang tidak berpalang pintu. Di cerita yang lain, seorang anak muda babak belur dihajar massa, gara-gara kepincut menggondol jam keren milik tetangganya. Kemudian ada seorang karyawan dipecat sama bosnya gara-gara terlambat ke kantor akibat jam beker dirumahnya mati. Bahkan yang lebih menggelikan lagi, orang sekampung batal puasanya karena mendengar azan magrib yang belum waktunya, gara-gara si muazin salah melihat jam.

Lagi-lagi ada suara yang menghentakkan lamunanku. Kali ini bukan kaum Adam, tapi kaum hawa. Sejurus pandanganku melahap sosok anggun dengan balutan gamis biru serta penutup kepala putih berenda. Wajahnya meski nampak lelah tapi tidak menutupi kecantikan wajahnya. Kutengok tanganya ternyata ada jam tangan warna biru. Kusapa dia dan kutanyakan jam berapa malam itu, menghilangkan balutan kesepian.

Wanita umur 21 tahunan itu ternyata punya tujuan searah denganku. Ia adalah pramuniaga Mall Depok. Dalam percakapanku sambil menunggu angkot, ia adalah seorag mahasiswi Fakultas Hukum di salah satu perguruan tinggi negeri Depok, yang terpaksa menunda kuliahnya hanya karena bapaknya terkena program PHK. Ia harus bersusah payah untuk mengumpulkan uang demi melanjutkan kuliahnya yang tertunda, dengan cara menjadi pramuniaga. Dalam penantianku akhirnya sebuah angkot dengan menyisakan dua tempat duduk berhenti tepat memenuhi harapan dua insan.

Sang waktu selalu bertutur tentang perjalanan seseorang. Zaman pun terus berputar. Tak seorangpun mampu untuk menyurutkanya ke belakang, atau sekedar berhenti sesaat. Aku, dia dan mereka orang-orang yang lelah, jatuh terkulai dalam sandaran jok mobil. Deru mobil memecah keheningan malam, menyapu gerimis dalam temaram lampu-lampu jalanan, meninggalkan Tugu yang bertengger ditemani nyanyian sepi, dengan Penunjuk Waktu yang Membisu.


(Seperti diceritakan temanku jos' beberapa saat yang lalu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar