JaNjI SeTiA

Tulisan ini saya persembahkan untuk manusia-manusia tercinta yang telah mengajariku “bagaimana mengerti makna kehidupan dan bagaimana bertanya untuk lebih mengerti makna kehidupan”.

Saya belajar sungguh-sungguh untuk menjadi “filsup abad kegelapan” –sebagaimana manusia-manusia tercinta menunjukkan misteri judul diri ini pada saya--. Ada dua kemungkinan judul diri ini dinisbatkan pada saya; (1) saya belajar berfilsafat dalam kegelapan pemikiran dan renungan filsafat masyarakat kita; (2) akibat saya berfilsafat menjadikan muram wajah ceria masyarakat kita. Mana yang bebar ? I don’t know. Tapi karena saya harus bertanggungjawab -- terutama pada kemungkinan mempertanggungjawabkan diri sendiri-- , saya harus punya alasan atas kebenaran keberadaannya.

Tapi kalau cuma satu alasan pun meragukan kemungkinan benarnya eksistensi saya, biarlah saya tetap menari untuk menyembunyikan kesalahan keberadaannya. Rasa malu, itulah alasan kenapa saya harus berpikir tentang tanggungjawab. Tapi jangan Tanya, saya bertanggungjawab karena siapa atau untuk siapa. Mengapa demikian ?

Saya mudah saja untuk mengatakan, lakonan kehidupan ini sebagai wujud tanggungjawab pada Tuhan (misal pertama). Tapi kalau saya masih menempatkan dengan sukarela seribu satu tanda tanya kepada Tuhan, bagaimana saya dapat (hanya sekedar) mengatakan bahwa saya bertanggungjawab karena dan untuk Tuhan ? saya juga mudah saja untuk meyakini program kehidupan ini sebagai refleksi tanggungjawab pada diri saya. Tapi baikkah ini kalau saya masih bingung tentang saya sebagaimana adanya dan kemungkinan ultim lakonan kehidupannya ? Kalau begitu, mungkinkah tanggungjawab itu dipersembahkan pada alasan eksistensi kemanusiaan saya ? Ah, ini tak harus dijawab. Saya tidak mau mengganggu anda. Saya juga tidak mau kehilangan keluguan anda. Jadi, saya memang tidak bertanggungjawab pada dan karena siapa pun. Saya hanya bertanggungjawab karena rasa malu: (1) malu sebagai yang diciptakan atau dikaitkan kepada Tuhan; (2) malu sebagai makhluk, aku adalah makhluk manusia; (3) malu sebagai manusia, aku bernasib jadi seperti sekarang ini.

Saya yakin pada Tuhan karena ia Rahasia Yang Agung. Saya yakin akan keberadaan diriku karena manusia adalah Rahasia Tuhan yang dibocorkan. Saya yakin akan eksistensi kemanusiaanku karena ia bermurah hati memberikan info menjawab rahasia-rahasia. Dari itu, keputusan pertamaku (karena kesadaran) adalah menggunakan info itu untuk hidup yang harus kujalani. Dan, awal dan akhir kehidupanku adalah tarian yang ditujukan untuk membuktikan bahwa info itu benar adanya.

Jadi, hidup-kehidupanku hanyalah untuk segala rahasia dan jalannya adalah cinta pertama dan terakhirku pada ‘masyarakat kita’. Maka jangan tanggapi dan biarlah kata bermanis-manis ini dengan jujur dan tulus keluar dari mulut hati nurani si pencinta yang ingin mabuk dan lupa diri, “Aku jatuh cinta padamu tanpa definisi”. Benar atau tidak nyatanya, bukan soal. Hanya inilah janjiku, “waktu sisa ini, waktu yang terpendam ini biarkanlah meruahkan rahasianya sampai menjadi batas kehidupan tanpa jeda untuk menempatkan perpisahan. Sampai akhir hayat dengan setia”.

Tanpa lebih jauh saya sadari, egoisme saya pada nyatanya lebih kuat dan mendalam daripada yang diperkirakan. Hal ini nampak –saat ini--, yaitu ketika sentimen-sentimen kepribadian dan kualitas diri yang sesungguhnya dan baru ditemukan, mengganggu stabilitas akan keseluruhan makna kehidupan bermasyarakat yang sudah saya terima sebagai kebenaran dan keharusan realisasinya. (Saya tidak tahu akan rencana terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam dzikir kehidupan yang senantiasa dilakukan, saya menghadapkan segala “harapan” – untuk segala upaya kerasku — agar Tuhan sampai pada kehendak mencintaiku).

“ Kumohon kasih-MU
untukku yang ragu, lupa
dan bertanya
jagalah aku
untuk senantiasa merindukan-MU “.

Kualitas diri ? Sudah benar kupahami akan kekurangan dan kelebihanku. Kebenaran pemahaman yang menjadikanku secara sadar untuk hidup “bermasyarakat”. Aku pun setuju untuk menjadi bagian dan ikhlas untuk taat pada aturan-aturan mainnya; maju dan berkembang bersama manusia-manusia tercinta (dalam keyakinan bahwa kemajuan yang dicapai secara terpisah dari masyarakat, hanya berarti pemuasan diri dan kebanggaan semu, dan sejarah akan menghapusnya secara wajar); menghadapi suka, suka-duka, duka-suka dengan gembira dan bersama selalu. Maka aku mafhum pada dirinya sendiri, mengukuhkan pertanggungjawaban setiap ekstase pengembangan spritualitas dirinya: bersama, di dalam, untuk, dan karena eksistensi kemanusiaannya.

Kenyataan yang indah inilah yang melupakanku untuk menilai dirinya sendiri – menilai kualitas dirinya secara utuh dan terpisah --, menilai dan memperhitungkan diri dalam kesunyi-sendirian berhadapan dengan Tuhannya.

Aku yang “kelupaan” itu, kini teringatkan oleh kenyataan yang kuhadapi. Tanpa seijin kehendak sadarku dan bertolak belakang dengan keyakinan terhadap makna kehidupan bermasyarakat (berarti satu-satunya alasan adalah karena itulah kualitas diriku). Aku ternyata masih dapat diarahkan untuk menghitung pengorbanan, memperbandingkan pengorbanan-pengorbananku dengan manusia lain; menghitung jasa dan memperbandingkannya.

Dalam keadaan seperti ini aku menjadi khawatir “benarkah Tuhan akan menilai pantas untuk menggantikan segala hidupku dengan yang Ia janjikan dan aku merindukan-Nya”?

“ Tuhan !
dalam kesunyian
dalam kesendirian
aku lebih tak mengerti dirinya
manjakanlah aku dengan kasih-MU “.

Sentiment kepribadian. Ini lebih serius lagi, dan betapa Ia dengan lancang membongkar auratku dan aku pun menjadi malu melihat dirinya secara utuh.

Betapa tidak ?

Dalam indah dan mulianya kehidupan bermasyarakat, aku belum setia mengorientasikan semua aktivitas kehidupanku kepada kebenaran – tepatnya, pada totalitas penyerahan untuk dikuasai kebenaran.

Begitulah diriku, yang kini hijabnya terbuka dan pembuktiannya menjadi nyata karena kutemukan pada “pengalaman”. (Nyatanya), walau aku bersama-sama dengan manusia-manusia tercinta berupaya mencapai ekstase ke ekstase, setelah sampai pada salah satu ekstasenya, aku masih bisa untuk cemburu dan merasa “tersaingi”. Dan kalau aku yang “lebih baik” aku ingin meneguhkan ke – “lebih-baik” – annya.

“ Tuhan !
tarian ini indah
melelahkan
mencekam
peluklah aku dalam kelelahan
sampai batas diantara kami
hanya bakti pada-MU “.


InTuIsI, ruang 4x3,5 menjelang shubuh,
(dedicated to ‘our love’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar