Senyuman Terindah


Biduk rumah tangga tidak selalu berlayar dalam ombak samudra yang tenang. Seringkali badai gelombang membuatnya terombang-ambing. Dan tidak jarang navigasi tidak berfungsi serta kompas tidak memberikan arah. Jika saja tidak ada cinta, maka samudera kehidupan akan segara menenggelamkannya.

Anak-anak yang lucu dan manis, sejatinya terlahir dari rahim yang dipupuk dan disemai dengan ramuan cinta kasih. Walau tidak jarang mereka lahir dari faktor keterpaksaan atau bahkan tumbuh dan besar dalam balutan dusta dan dosa.

“Harmoni” itulah kata yang paling indah, yang mampu menggambarkan sebuah keserasian yang tersusun dengan rapih dalam balutan bingkai emas. Bahkan ketika perbedaan alat-alat bunyi mengalun suguhan dari sebuah orkestra raksasa, dalam panduan gerak-gerik seorang konduktor, maka harmoni itu tersuguhkan dan mampu menyita perhatian para hadirin. Itulah kesan pertama saat Saya bertandang ke sebuah kontrakan yang dihuni tidak kurang dari satu kesebelasan. Di pelosok kampung di sudut kota Depok kami sempat berbicara akrab dengan Bapak Dudung sang kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai tukang ojek.

Diusianya yang sudah berkepala 4, Pak Dudung masih menyisakan tenaga dan tampak segar. Orang tidak akan percaya kalau dirinya sudah dikaruniai 9 orang anak. Ibarat seorang konduktor, ia mampu memadukan irama kehidupan dalam ritme-ritme yang terkadang menghentak kesadaran, tapi terkadang mengalun sendu. Saat Saya bertanya tentang kiat mempertahankan biduk rumah tangganya di tengah-tengah terpaan badai krisis dan biaya hidup yang semakin melambung, ia dengan santai berujar “mengalirlah seperti air”.

“Maksud Bapak?”

“Jadi begini. Sebenarnya saya adalah seorang sarjan lulusan perguruan tinggi swasta ternama di Depok. Saya bercita-cita menjadi seorang pengusaha. Tapi kenyataan yang dihadapi keluar jauh dari cita-cita yang terpendam,” ia menghela nafas sambil mempersilahkan Saya menikmati teh manis dan sepiring pisang goreng hangat.

“Segala macam bisnis sudah saya coba. Dari bisnis yang bermodal kecil, sampai yang bermodal ratusan juta rupiah. Tapi dewi Fortuna belum memihak kepada saya. Semua harta benda saya habis terjual untuk modal, tapi semuanya nihil,” tampak ia tersenyum kecut.

“Lantas bagaiman dengan sikap istri bapak?”

“Satu hal yang membuat saya bisa bertahan hidup adalah berkat istri saya. Ia selalu memberikan support kepada saya dalam kondisi apapun. Bahkan ketika saya sudah habis-habisan dan memutuskan untuk menjadi tukang ojek.”

Dari pertama kali Saya datang, Saya tidak mendapati siapa-siapa di rumah itu, kecuali Bapak Dudung. Rupanya ketika Saya datang pak Dudung baru saja mengantarkan istri dan anak-anaknya berlibur ke rumah orang tuanya. Ia sendiri konon akan menyusul setelah menyelesaikan tugasnya menarik ojek.

“Pada suatu pagi, kami mendapati diri kami dalam keadaan fakir. Tak ada segenggam beras dan tak ada sepeser uang di kantong. Sementara uang kontrakan sudah lewat satu minggu. Anak-anak yang besar masih bisa faham tentang kondisi itu. Tapi yang kecil-kecil terus menerus merengek minta makan. Saat itu aku dan istriku memutuskan untuk berpuasa. Waktu bergerak begitu cepat, dhuhapun kami lewati dengan bilangan rakaat. Satu-satunya jalan, aku harus segera menarik ojek. Padahal aku tahu bahwa motor tuaku kedua bannya sudah gundul, sehingga tidak pernah menjadi pilihan favorit para penumpang, kalau boleh dikatakan mereka menghindarinya.

Tapi dengan kekuatan doa, akupun memutuskan untuk narik ojek. Saat aku bersiap-siap, istriku dengan gaun biru dan berkerudung pink berenda, meraih tanganku dan menciumnya. Dia melemparkan senyumnya dengan begitu tulus dengan iringan doa. Sebuah senyuman terindah meyertai keberangkatanku memberikan semangat untuk memacu kuda besiku yang sudah tua untuk mengais rizki Allah...

Ah...pak Dudung, jadi iri aku dibuatnya. Sepertinya tak ada beban dipundaknya. Benar-benar ia menjalani hidup ini mengalir ibarat air.

“Ok pak Dudung, kebetulan saya lagi dikejar waktu, anterin saya pak itung-itung penglaris,” ajakku. “Alhamdulillah datang juga rizki”

Pak Dudung membawaku membelah perkampungan. Jalanan berkelok dan berlubang membuatnya ekstra hati-hati. Tapi ia begitu tenang mengendalikan kuda besinya. Kami berdua diam membisu. Pak Dudung mungkin sedang berpikir bagaiman bisa membiayai pendikan anak-anaknya, dan membayar kontrakan serta biaya hidup lainnnya. Sementara aku berpikir untuk mengejar Dead line – sebuah kata yang sedikit menakutkan dan merepotkan. Tapi aku telah belajar banyak dari pak Dudung. Aku ingin mengalir bersama putaran roda waktu. (Seperti diceritakan Joe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar