Aku ingin tetap Sekolah


Temaram lampu jalanan menerangi jalan Raya Margonda Depok. Depok di malam hari ibarat nyonya mau pergi ke pesta. Terlihat cantik walau sedikit genit, namun tetap enak untuk dilihat. Sementara terminal Depok tidak pernah kesepian para penghuninya, sepanjang jalan Margonda kendaraan padat merayap. Di sisi kiri dan kanan sejumlah gedung pertokoan dan super market masih disibukkan oleh para pembeli.

Aku sengaja mengintip suasana Depok di malam hari. Jembatan penyebrangan yang menguhubungkan tepian terminal dengan Ramayana, kelihatannya sudah beralih fungsi menjadi pilihan yang tepat untuk memotret suasana lebih leluasa. Depok terlihat sebagai kota metropolis, yang terus bergeliat mempercantik diri, dengan segala kelebihan yang dimilikinya.


Aku terperangkap pada pemandangan yang begitu kontras. Disudut jembatan penyebrangan yang menghubungkan terminal dengan sebuah pasar swalayan, seorang anak kecil berusia tujuh tahunan duduk terdiam dengan segelas aqua kosong di tangannya. Berbadan kurus dengan balutan baju yang kumal menyapa lirih dengan tatapan mata yang kosong pada setiap pengguna jembatan yang lewat.

Putaran waktu terus berpacu dengan kesibukan orang-orang. Semakin lama kesibukan berubah dengan kelengangan. Dan kepadatan jalan Margonda berubah dengan keheningan. Ditingkahi oleh beberapa pasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara, kesibukan Depok perlahan pergi meinggalkan galaunya pikiran seorang anak memikirkan hari esok di sudut jembatan.

Terlihat satu dua keping uang logam mengisi gelas aquanya, tapi ia tidak mau beringsut dari tempat itu. Aku sendiri memastikan bahwa malam itu bukan malam libur sekolah. Saya teringat bahwa besok adalah hari pertama anak-anakku menjalani ujian akhir semester. Tapi siapa anak itu? Apakah ia tidak takut kesiangan esok harinya pergi ke sekolah? Atau apakah ia masih sekolah?

Teringat dengan anak-anakku, akhirnya aku tergoda untuk mendekatinya dan menyapanya dengan penuh perhatian. Awalnya aku berpikiran negative, bahwa anak itu dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab untuk mengeruk keuntungan. Tapi dari penuturan anak itu, ia adalah seorang anak miskin putra Depok. Bapaknya seorang tukang ojek, terbaring lemas tidak berdaya akibat tabrakan yang dialaminya yang membuatnya lumpuh. Sementara ibunya seorang kuli cuci, hanya bisa mendapatkan recehan untuk bayar kontrakan.

Ia menuturkan bahwa ia ingin tetap sekolah. Walau harus menengadahkan tangan meminta belas kasihan orang lain, ia rela melakukannya, asalkan ia bisa sekolah. Uang yang ia dapatkan ia kumpulkan untuk keperluan sekolah. Dari tutur katanya, sama sekali ia tidak menampakkan kesedihan. Ia bahkan begitu tegar untuk ukuran seorang anak kecil. Bahkan ketika ditanya tentang cita-citanya, ia menjawab lantang, bahwa ia ingin menjadi walikota Depok.

Ah…anak itu. Aku jadi malu dibuatnya. Belas kasihanku tidak beralasan jika hanya melanggengkan kemiskinan. Hanya saja aku tidak habis pikir. Masih ada anak-anak miskin di Depok yang berkeliaran yang seharusnya meraka tekun belajar di rumah menyongsong masa depannya. Tapi itulah realita. Siapa yang bertanggungjawab terhadap kondisi ini?

Aku menghela nafas panjang, beranjak pegi meniggalkan anak itu. Entah sampai kapan anak itu diam terpaku di sudut jembatan penyebrangan, aku tidak tahu. Yang pasti anak itu telah meninggalkan segores luka di hatiku, dan meninggalkan segudang tanya di pikiranku, tentang nasib anak itu dan anak-anak Indonesia lainnya yang senasib dengannya.

2 komentar:

  1. Yo wish Re... la memang ini sebuah realita yang bukan berada dikota depok saja tetapi hampir disegenap kota dinegri ini.
    Indonesia yang kaya, subur dan hasil alam yang melimpah ruah.
    Jangan dipusingin re......

    BalasHapus
  2. Thks, atas komentarnya, sebagai bagian dari anak bangsa Saya bukan hanya prihatin tetapi bila kita mengacu pada UUD 45 tidak seharusnya ini terjadi manakala Negara ini dikelola dengan Benar.

    BalasHapus