“Rindu Kami Pada-Mu Ya Rasulullah”


Setiap pribadi muslim, pada umumnya hapal sebuah hadist yang berbunyi : “ Innamaa bu’istu Li utaamima makarimal ahlaq – sesungguhnya Aku (Muhammad SAW) diutus untuk menyempurnakan ahlaq “.

Dengan hadist ini, diharapkan pula bahwa setiap muslim, adalah tipikal manusia yang sangat obsesif untuk menumpahkan kerinduannya kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sangat bersahaja, fathonah (cerdas, genius), amanah (commited, jujur), komunikatif (tabligh), dan siddiq (tidak pernah berbohong).

Alangkah luhurnya pribadi Rasulullah, wajahnya yang bercahaya, tutur katanya yang lemah lembut, menyejukkan, dihatinya terbuka jiwa pemaaf yang luar biasa dan senantiasa tersungging senyum dibibirnya.



Tidak ada yang tercecer dari pribadi Rasulullah, bahkan seluruh prilaku kehidupannya tidak pernah luput dari catatan para sahabat, dan kita wajib bersyukur karena sampai saat ini Umat Islam masih tetap mampu menikmati catatan prilaku Nabinya yang menjadi sumber referensi ketauladanan sempurna sebagai Al insanul kamil, postur manusia yang menjadi bayangan dari citra hamba Allah dalam arti yang sebenarnya.

Diajarkannya adab yang maha mulia, digubahnya prilaku jahiliyah di muka bumi ini dengan sentuhan kasih, ditelusuri setiap lorong kota makkah dengan penuh rasa harap, agar manusia mau menjadi pengikut dan menerima da’wahnya, hatinya ikhlas, seputih salju tanpa noda, Dia berda’wah tanpa meminta imbalan apa pun, baginya cukuplah Allah sebagai penjamin lahir bathinnya ( Wa kafaa billahi wakilan ), tanpa keinginan untuk meminta pujian, karena Dia sadar bahwa pujian milik Allah (Alhamdulillah), tanpa motivasi untuk mencari tahta, harta apalagi wanita; walau seluruh kaum quraisy telah membujuknya agar memberhentikan da’wahnya, bahkan Nabiyullah dijanjikannya akan mendapatkan kekuasaan, sebesar otoritas kaisar dari kisra, kalau toh mau wanita, maka seluruh kaum quraisy mampu menghadirkan tipe wanita sebahenol apa pun, apakah gaya Breatney Spears ataukah wanita tipe lainnya, pokoknya bagi orang jahiliyah, semuanya akan dia penuhi, asalkan : “Engkau wahai Muhammad, berhentilah dari menyebarkan agamamu yang baru, karena hal itu benar-benar telah mengganggu ketentraman dan merusak kepercayaan turun-temurun yang sudah diyakini oleh nenek moyang kami”.

Pesan kaum quraisy ini disampaikannya melalui Abu Muthalib, dengan harapan apabila di approach, dilobi dan dibujuk oleh orang terdekat, yang telah memeliharanya sejak kecil, tentulah jiwa Muhammad akan luntur. Tetapi tawaran itu, sedikitpun tidak menggoyahkan diri dan pendirian istiqomah Rasulullah, bahkan beliau bersabda : “ Ya Amiy, walaupun matahari diletakkan ditangan kananku, dan bulan ditangan kiriku, kemudian aku diminta untuk berhenti menyampaikan yang haq ini, menyeru umat untuk memenuhi Risalah, Wallohi, Demi Allah ! Aku lebih baik hancur, dari pada harus meninggalkan amanah dari Allah “

Jiwa yang kokoh, kecintaannya kepada Allah, serta rasa kasihnya kepada manusia, telah menjadikan pribadi Rasulullah adalah cahaya bumi yang tidak mungkin bisa dibandingkan dengan siapa pun. Muhammad is Muhammad, we have not any single word and any capacity to compare him, now, tomorrow and forever.

Sebab itu, walau pun seorang Doktor sejarawan Amerika Serikat Michael Hart, yang mengarang buku The Hundreds, the most influencing people, menempatkan Muhammad Saw sebagai urutan nomor satu diantara seluruh tokoh dunia. Rasul, Nabi dan ilmuwan contoh umat Islam tetap menjadikan Rasulullah Muhammad adalah segalanya, sulit bila kita bandingkan dengan siapa pun. Bagi kita sebagai umat Islam, penemuan sejarah yang dikarang dengan validitas tinggi oleh seorang scillmuwan sekalipun, cukuplah sebagai bukti bahwa Muhammad is Muhammad.

Ketika perjuangan da’wah sampai pada saat yang paling kritis, ketika bujukan (persuasive) tidak lagi mempan, maka quraisy melakukan pendekatan security approach, mengandalkan seluruh kekuatannya untuk menteror Nabi dan para sahabatnya. Ketika Nabi dan para pengikutnya di blockade dan diisolir, dan puncaknya akan terjadi pembunuhan yang kejam kepada diri Rasul maupun yang lainnya, maka diputuskannya untuk Hijrah.

Para sahabat serta keluarganya yang lemah, didahulukannya untuk menyelamatkan diri, sedangkan Beliau memilih untuk tetap tinggal di Makkah. Pada saat yang genting ini, Rasul lebih mementingkan keselamatan pengikutnya dari pada dirinya sendiri, Ah …… betapa kasihnya Rasul kepada umatnya.

Bagi Rasul, kedudukan umat ditempatkannya secara khusus, apakah dia para sahabat, tabi’it tabi’in ataukah mereka umatnya yang datang dikemudian hari. Begitu cintanya Rasul kepada umatnya, bahkan detik-detik terakhir dari kehidupannya, Beliau masih menyebut; “ Ummati…..Ummati, Umatku…..Umatku…….!

Begitu cintanya Rasulullah kepada kita, beliau memohon langsung kepada Allah untuk dapat memberikan syafaat bagi umat Islam yang senantiasa bershalawat kepadanya, untuk dapat ditolong memasuki sorga, kelak di yaumil akhir.

Ketika dirinya dihinakan umat, sewaktu Beliau yang ditemani oleh Zaid bin Haritsah berda’wah di Thaif, Beliau bukannya disambut dengan hamparan karpet merah, kalungan bunga dan tepukan, atau disambut dan dijemput dengan kendaraan lux. Tetapi sebaliknya Beliau disambit dan di cemooh oleh seluruh penduduk Thaif yang keluar untuk melempari Rasulullah, manusia agung yang penuh kasih sayang itu dinistakan manusia !

Dalam sebuah riwayat, saking sakitnya rasa nyeri yang dideritanya, Rasul pun tidak sadarkan diri. Dan apa reaksinya ? begitu siuman, Rasulullah menengadahkan tangannya, seraya berdo’a : “ Allohumagfirli qoumiy fainnahum laa ya lamun ……….. Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui ……………”.

Padahal, kalau saja Rasul mau membalas penghinaan ini, kalau saja Beliau mau membinasakannya sekalipun, sesungguhnya Beliau adalah Habibullah, kekasihnya Allah. Tetapi justru di hati Beliau tidak ada rasa dendam sedikitpun, dan bahkan pada suatu saat diajarkannya kepada kita, sabda Beliau :

“ Inna abgodho rijaali ilaallah aladdulkhoshimu, orang yang paling dibenci Allah adalah manusia yang paling keras dan penuh dengan dendam kesumat “.

Dalam hadist yang lain, yang diriwayatkan oleh Turmudzi, Beliau mengingatkan kita semua, dengan sabdanya; “ Laisal mu’minu bi tho’aani walaa la’aani, walaal faakhitsi, walaal badziyi – orang mukmin itu, bukanlah orang yang suka melaknat, mencela, berkata kotor dan berkata yang keji “.

Di dalam pribadi Rasul, bermuaralah ucap dan tindakan. Ucapannya penuh hikmah berbuah marhamah. Nasihatnya memberikan kesejukan bagi jiwa yang gelisah, memberikan kedamaian bagi mereka yang dilanda resah. Rasulullah adalah samudera ketauladanan prilaku hidup yang tak pernah kering. Di dalam pribadi Beliaulah kita menemukan satu cahaya, petunjuk kebahagian. Di dalam kepribadian Rasul itu pulalah, umat Islam akan menemukan halawatul iman (kelejatan iman).

Umat Islam waktu itu berani menantang segala tantangan, karena kesadaran dirinya yang melangit, bahwa hidup ini sangat sementara. Dan mereka sangat merindukan sebuah kebahagian final yaitu surga di akherat. Mereka berebutan untuk tampil paling depan, seraya didadanya ada semacam harapan untuk segera mati sebagai suhada. Mereka berdesakan untuk merebut shaf pertama, bagaikan orang lapar yang memperebutkan makanan, rindu untuk segera menghadap sang kekasihnya yang Maha Rahman. Setiap saat kaum muslimin waktu itu, hanya berpihak kepada Allah, dan tidak ada satu pun yang mendominir dirinya, kecuali Allah, Laailaha Illallah, seraya berkata; “ Inni muhajirun ilal Rabbi “(QS:29;26)

Sahabat Nabi, Zaid bin Datsnah tertangkap kaum quraisy dan divonis hukum pancung, dan sewaktu kepalanya sudah siap dipancung, Abu Sofyan berkata kepadanya;

Hai Zaid ! Apakah engkau lebih suka apabila Muhammad menggantikan engkau untuk kami bunuh, dan engkau kami bebaskan untuk tetap tinggal dirumahmu bersama dengan anak-anakmu ? Zaid menjawab dengan tegas: “ Demi Allah, jangankan Beliau dibunuh, sedangkan kena duri sedikit saja, sesungguhnya aku tidak rela Muhammad menderita !”.

Dan Zaid bin Datsnah, akhirnya gugur sebagai martyr. Di dalam dirinya tersimpulkan sebuah kebahagian tiada tara karena dia mampu mati dengan sebuah harga tauhid.

Maka tampaklah, kaum muslimin waktu itu merasakan harga dirinya mempunyai nilai, apabila dia mampu membuktikan kecintaannya kepada Allah dan Rasulnya, dan kalau toh dia harus mati, dia pun siap sebagai syahid, “ Isykariman au mut syahidan – Be a good Moslem or die as syuhada “.

Seorang sahabat Nabi bernama Shofwan bin Quddaamah berkata ; “ Aku berhijrah bersama Nabi ke Madinah. Lalu aku datangi Beliau dan aku berkata; ‘Rasulullah, aku ingin hendak membaiat Engkau’. Lalu Beliau mengulurkan tangan, aku pun berkata ; ‘Ya Rasulullah aku sangat cinta kepadamu’. Lalu Rasul berkata; “ Al mar’uma’ aman ahabba “ ( kebaikan selalu bersama dengan yang dicintainya ).

Begitulah tipikal umat yang dikatagorikan sebagai kelompok pionir (assabiquunal awwalun), mereka menempatkan cintanya kepada Rasulullah melebihi cinta kepada diri dan siapa pun. Kualitas unggul, yang menyebabkan dalam era yang sangat singkat menyebabkan Islam menyebar di muka bumi, membawa berbagai nilai yang kemudian dipetik hasilnya oleh orang-orang barat seperti yang kita lihat hari ini, sesungguhnya dunia harus berterimakasih kepada Islam, karena kedatangan Islam inilah yang mencerahkan peradaban, dan dasar-dasar ilmu pengetahuan, jauh sebelum renaissance tiba.

Bagi kita hari ini, tak perlu merasa nelangsa karena tidak hadirnya wujud wadag Rasulullah. Tetapi bagi mereka yang hatinya melangit, harap jumpa dengan Allah dan merindukan pertemuannya dengan Rasulullah, telah dijamin sendiri oleh Nabiyullah Muhammad Saw, sebagaimana sebuah hadist dirawikan oleh Muslim dari Abu Hurairoh, Nabi bersabda : “ Setengah dari umatku yang sangat cinta kepadaku ialah mereka yang datang, jauh sepeninggalku kelak. Mereka ingin sekali hendak melihat aku, dengan kaum keluarganya dan harta bendanya sekalipun “.

Kita tidak pernah mengenal Rasulullah dan para sahabatnya, kita tidak pernah ikut berperang di Badar, dan kita pun tidak pernah merasakan suasana kepahitan Nabi dan para pengikutnya dalam mempertahankan dan menyebarkan da’watul Islam, tetapi Insya Allah iman kita, kerinduan kita kepada Nabi dan misi untuk menjayakan Islam disetiap pelosok kehidupan, merupakan citra kecintaan yang tidak bisa ditawar lagi.

Maka, kita yang ada di sini, di negeri ini, sepantasnyalah berkata: “ Ya Muhammad kami rindu jumpa dengan Mu “.

Apabila anda bertanya, mencari jalan (tarikat) untuk mencapai cinta dan rindu itu, maka jangan ikuti nasihat Ebiet G Ade yang menyarankan agar bertanya pada rumput yang bergoyang, tetapi ambillah air wudhu, shalatlah dan bertafakur tentang akhir dari perjalanan hidup anda. Dan kalau mau lebih khusyuk lagi, anggaplah shalat anda, adalah shalat yang terakhir, karena siapa tahu besok lusa anda tidak bisa lagi menunaikan shalat, ya siapa tahu, karena kullu nafsin dzaaikatul mauut – tokh akhirnya semua manusia dan segala benda yang bernyawa secara pasti dan tak terelakkan berjalan menuju pada suatu muara yang sama yaitu kematian !

Dan bagi kita, tidak ada kamus segan untuk mati, sebab bagi seorang muslim kematian adalah alamat pertemuan buah cinta, Al mautu ayatul hubbish shodiq. (Dedicated to: “Big Family”; MRA by EN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar