Praktik korupsi di Indonesia sudah di luar nalar sehat. Korupsi
itu bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan pelakunya
juga orang-orang terhormat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan.
Bahkan, di antara pelaku korupsi itu ada yang berasal dari
akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang dianggap sebagai
pengawal moralitas publik dan penjaga etika sosial. Ini fakta paradoksal
sekaligus ironi tak terperi. Bagaimana ilmu antropologi menjelaskan fenomena
sosial yang merisaukan ini? Paling tidak ada tiga penjelasan.
Penjelasan pertama merujuk teori negara patrimonial, yang
menempatkan pemimpin dan elite politik sebagai pemegang kekuasaan yang
mendominasi sumber daya ekonomi-politik. Sebagai pemegang kekuasaan politik,
sang penguasa bertindak selaku patron yang membangun hubungan patronase dengan
para klien dalam posisi tidak setara. Para klien menjadi subordinasi sehingga
mereka sepenuhnya bergantung pada sang patron. Mereka harus bersedia mengabdi
dan melayani sang patron bila ingin mendapat bagian dan akses ke sumber daya
ekonomi-politik itu.
Praktik inilah yang berlangsung di lembaga parlemen dan
birokrasi pemerintahan Indonesia. Di sini terbangun hubungan
segi-tiga-tergantung antara anggota DPR, birokrat, dan pengusaha. Anggota DPR
selalu mengambil peran sebagai patron, baik bagi birokrat maupun pengusaha,
yang selalu diposisikan sebagai klien. Untuk mendapatkan proyek atau aneka
kontrak, pengusaha harus bersedia memberi all in services kepada anggota DPR
dan birokrat.
Demikian pula birokrat harus melakukan hal sama, memberikan
pelayanan prima kepada anggota DPR untuk mendapat persetujuan atas suatu
kebijakan atau persetujuan alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan.
Kasus Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Faishal, dan para pejabat BI harus
dibaca dalam konteks relasi-kuasa-patronase ini.
Tukar hadiah
Penjelasan kedua merujuk teori gift exchange atau gift-giving
dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954). Dalam masyarakat
primitif, relasi sosial dan interaksi antarwarga berlangsung hangat dan dekat
satu sama lain. Mereka membangun hubungan sosial yang bersifat face to face
community interactions, tecermin pada kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange)
dan memberi bingkisan (gift giving).
Tukar hadiah menggambarkan suatu relasi harmonis di antara
anggota masyarakat, melambangkan penghormatan/ penghargaan sesama warga
masyarakat, merefleksikan kohesivitas sosial yang kokoh, serta melukiskan
kedekatan personal di antara pihak yang terlibat dalam pertukaran hadiah.
Adapun pemberian bingkisan juga merupakan simbolisasi civic
culture, social virtue, dan public morality di kalangan masyarakat primitif.
Bila seseorang diberi hadiah, ia memiliki kewajiban moral untuk membalas
pemberian hadiah itu dengan nilai setara sebagai ungkapan penghargaan dan
aktualisasi nilai-nilai kebajikan sosial. Ini merupakan bentuk etika sosial
yang menandai penghormatan kepada sesama warga masyarakat.
Namun, masyarakat modern membuat "interpretasi
kreatif" dan memberi makna baru tukar hadiah, dengan mengubah pemberian
bingkisan menjadi kickback, pay-off, dan buy-off untuk memperlancar segala
urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Masyarakat modern telah
menyelewengkan fungsi sosial tukar hadiah sebagai instrumen untuk merekatkan
hubungan antarwarga masyarakat. Penyelewengan makna pemberian bingkisan menjadi
uang suap/uang pelicin jelas bertentangan dengan moralitas publik, etika
sosial, dan civic virtue yang berlaku di masyarakat primitif.
Saksikan pemberian hadiah dalam makna baru kini bertebaran di
ruang-ruang pertemuan informal di hotel-hotel berbintang, yang melibatkan
anggota DPR, aparatur birokrasi, pejabat pemerintah, dan pengusaha yang
berkepentingan mendapat proyek pembangunan dan kontrak pekerjaan.
Korupsi
Penjelasan ketiga merujuk teori cultural relativism terkait
pengertian korupsi yang merujuk pada nilai-nilai budaya yang berlaku di suatu
masyarakat (lihat Haller and Shore, Corruption: Anthropological Perspectives,
2005). Korupsi adalah konsep modern yang muncul dalam wacana modernitas
sehingga definisi korupsi bisa saja berlainan dalam konteks budaya masyarakat
yang berbeda-beda.
Dalam wacana modernitas, korupsi didefinisikan sebagai misuse of
power, of public office, of entrusted authority for private benefits. Dalam
pengertian ini, bila seorang pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan atau
menyelewengkan otoritas untuk kepentingan pribadi atau mendapat manfaat ekonomi
dan keuntungan finansial dari jabatan yang diembannya, itu tergolong korupsi.
Ini berbeda dengan pemahaman masyarakat di negara patrimonial saat kekuasaan
mengalami personalisasi dan jabatan publik dianggap sebagai milik pribadi.
Dalam konteks budaya negara patrimonial, pengertian korupsi
sebagai misuse of power for personal gains sama sekali tak berlaku. Bahkan, di
masyarakat tertentu ada anggapan, mengalokasikan sumber daya publikaset ekonomi produktif, pekerjaan, dan dana publikkepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni merupakan hal yang
lumrah karena nilai-nilai budaya yang berlaku adalah personal/communal
patrimony. Di sini batasan antara wilayah publik dan pribadi menjadi kabur
sehingga korupsi dalam pengertian modern untuk konteks masyarakat demikian
menjadi relatif sebagaimana relativitas budaya di masyarakat yang berbeda-beda
itu (lihat Akhil Gupta, Blurred Boundaries: The Discourse of Corruption, the
Culture of Politics, and the Imagined State, 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar