”Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali, bangsa pelaut dalam
arti seluas-luasnya, bukan sekadar jongos di kapal, tetapi mempunyai armada
niaga, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang.” (Soekarno, 1953)
Pidato tersebut disampaikan
Presiden Soekarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut tahun 1953 yang
menjadi cikal bakal Akademi Angkatan Laut (AAL). Indonesia memang telah lama
tidak berorientasi laut atau tidak bisa menjadi nakhoda di lautnya sendiri.
Laut dijadikan ladang mata
pencaharian, laut juga dijadikan sebagai tempat menggalang kekuatan, mempunyai
armada laut yang kuat berarti bisa mempertahankan kerajaan dari serangan luar.
Memang, laut dalam hal ini menjadi suatu yang sangat penting sejak zaman dahulu
sampai zaman sekarang. Dengan mengoptimalkan potensi laut menjadikan bangsa
Indonesia maju karena Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk
mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi
pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada
khususnya.
Melihat bagaimana kejayaan masa
lampau diperoleh karena mengoptimalkan potensi laut sebagai sarana dalam
suksesnya perekonomian dan ketahanan politik suatu negara, maka menjadi suatu
hal yang wajar bila sekarang ini Indonesia harus lebih mengembangkan laut demi
tercapianya tujuan nasional. Indonesia menyandang predikat “Negara Maritim”
atau negara kepulauan,
Konsekwensi sifat maritim itu
sendiri lebih mengarah pada terwujudnya aktifitas pelayaran di wilayah
Indonesia. Dalam kalimat ini bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dalam
membangun perekonomian akan senantiasa dilandasi oleh aktivitas pelayaran.
Pentingnya pelayaran bagi Indonesia tentunya disebabkan oleh keadaan
geografisnya, posisi Indonesia yang strategis berada dalam jalur persilangan
dunia, membuat Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk
mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi
pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdagangan pada
khususnya.
Tinggalkan laut
Sejak lama, Indonesia dikenal
kekayaan alamnya sekaligus sebagai wilayah strategis pelayaran dan perdagangan
dunia. Pengaruh kebudayaan India terhadap kerajaan-kerajaan awal, seperti Kutai
di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa, menjadi bukti bahwa Indonesia telah
terlibat dalam pelayaran dan perdagangan internasional secara aktif.
Perkembangan aktivitas ini
memunculkan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan Banten yang mengusung
konsep negara maritim (city-state).
Pada perkembangannya, masuknya
kekuatan Eropa mulai abad ke-16 pada sistem pelayaran pribumi—perdagangan
antara pedagang-pedagang Asia Tenggara dan pedagang dari India, Arab dan
Tiongkok—sangat memengaruhi sistem pelayaran di Indonesia, terlebih ketika
kekuatan Eropa tersebut memonopoli perdagangan.
Pada masa itu, Portugis dapat
menguasai Malaka (1511), Spanyol menguasai Filipina (1571), dan Belanda lewat
kongsi dagangnya, VOC, menguasai Batavia (1619). Terjadilah perubahan
geopolitik, laut Indonesia pun menjadi pemisah, bukan lagi pemersatu.
Laut semakin ditinggalkan begitu
VOC menancapkan pengaruhnya pada Kerajaan Mataram Jawa. Keterlibatan VOC dalam
suksesi kepemimpinan di Jawa memosisikan VOC sebagai raja baru yang menguasai
ekonomi di Jawa, terutama yang berbasis di Laut Jawa.
Hal ini mempersempit aktivitas
pelaut-pelaut pribumi yang diperparah oleh kebijakan Raja Mataram Amangkurat I
(1647-1677). Amangkurat menghancurkan daerah-daerah pesisir yang menjadi pusat
perdagangan yang lepas dari kendalinya dan melarang rakyatnya berdagang ke
seberang lautan. Tahun 1655, ia menutup semua pelabuhan dan memerintahkan
pasukannya menghancurkan seluruh kapal Jawa (Anthony Reid, 2004: 105).
Sebaliknya, VOC membangun kantor
perdagangan di pesisir dan pedalaman Mataram, mendorong Mataram menjadi
kerajaan yang sepenuhnya agraris. Pada masa Amangkurat III, VOC mendapatkan
semua bandar laut yang sebelumnya milik Mataram (Tjiptoatmodjo, 1983: 190-191).
Penguasaan wilayah pantura
menjadi kemenangan luar biasa bagi Kerajaan Belanda dalam konstelasi ekonomi
dan politik global, terutama menghadapi Inggris dan Spanyol.
Dari pantura, pemerintah Hindia
Belanda semakin menancapkan hegemoni politiknya di wilayah-wilayah selain Jawa,
seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Peraturan-peraturan kemudian
dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang tercatat baik dalam verslag
(laporan-laporan kolonial) ataupun staatsblad (lembaran negara) yang semakin
melegitimasi eksploitasi Nusantara.
Paradigma Harus Berubah
Laut Indonesia memiliki peran
penting dulu dan ke depan. Oleh karena itu, kita perlu mengubah paradigma lama
yang masih menganggap kita hanya negara agraris besar dan mengabaikan
kemaritiman.
AB Lapian (2009) mengungkapkan
situasi ini terjadi karena kita selama ini salah mengartikan gelar kita sebagai
negara archipelagic state.
Archipelagic state selalu
diartikan sebagai negara kepulauan yang dipisahkan oleh lautan, padahal
archipelagic berasal dari bahasa Yunani, yaitu arch (besar atau utama) dan
pelagos (laut), sehingga lebih tepat bermakna negara laut utama yang dihiasi
pulau-pulau (Lapian, 2009: 2).
Inilah dampak arogansi
kolonialisme yang memosisikan laut Indonesia sebagai pemisah wilayah-wilayah
daratan (pulau), baik secara politik, budaya, maupun sosial-ekonomi. Jadilah
kepemilikan wilayah laut oleh kekuatan-kekuatan asing yang mereduksi kekuatan
lokal. Wilayah-wilayah yang sebelumnya terintegrasi terbelah akibat politik
divide et impera.
Pemerintah Hindia-Belanda
sebenarnya memosisikan wilayah laut sebagai bagian integral dalam konsep
archipelagic state untuk menyikapi perkembangan internasional. Melalui
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No 422)
atau dikenal dengan Ordonansi 1939, pemerintah Hindia-Belanda mengusahakan
wilayah laut dan pulau-pulaunya dalam satu kesatuan.
Inilah embrio awal munculnya
pemahaman wawasan Nusantara yang dikenal melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember
1957, serta Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS) pada 10 Desember 1982 yang
diratifikasi RI tahun 1985.
Maka, sudah selayaknya pemerintahan
Indonesia kembali menghadirkannya dalam visi dan misi negara. Prinsip
archipelagic state sebagai dasar persatuan akan melahirkan konsekuensi bagi
seluruh bangsa Indonesia untuk menciptakan integrasi nasional Indonesia sebagai
negara yang utuh (nation-state).
Indonesia wajib menempatkan semua
wilayah perairan, termasuk pulau-pulau di dalamnya untuk membangun kehidupan
politik, ekonomi, dan budaya, sebagai negara maritim sekaligus agraris
kepulauan.
Aspek-aspek yang menjadi
perhatian di antaranya adalah pengembangan industri pertahanan maritim,
penyelesaian wilayah perbatasan, pencegahan imigran gelap, optimalisasi ekonomi
maritim, termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan,
pencegahan illegal fishing, dan pemberdayaan masyarakat maritim.
Akhirnya, pembangunan Indonesia
yang berprinsip wawasan Nusantara harus diterjemahkan sebagai hasil dari
konfigurasi yang terbentuk berdasarkan realitas maritim dan agraris.
Bahwa wilayah darat dan wilayah
laut Indonesia sejajar dan sama pentingnya untuk membangun ketahanan dan
stabilitas nasional dalam menyejahterakan kehidupan bangsa dan negara. Sangat
mungkin kita menjadi poros maritim dunia, tinggal political will.
Tiga elemen poros maritim
Poros maritim dapat dipahami
dalam tiga makna atau unsur. Pertama, poros maritim dapat dilihat sebagai
sebuah visi atau cita-cita mengenai Indonesia yang ingin dibangun. Dalam
konteks ini, gagasan poros maritim merupakan sebuah seruan besar untuk kembali
ke jati diri Indonesia atau identitas nasional sebagai sebuah negara kepulauan,
yang diharapkan akan mewujud dalam bentuk Indonesia sebagai kekuatan maritim
yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity), dan berwibawa (dignity).
Kedua, poros maritim juga dapat
dipahami sebagai sebuah doktrin, yang memberi arahan mengenai tujuan bersama (a
sense of common purpose). Sebagai doktrin, Jokowi mengajak bangsa Indonesia
melihat dirinya sebagai ”Poros Maritim Dunia, Kekuatan di Antara Dua Samudra”.
Doktrin ini menekankan realitas geografis, geostrategis, dan geoekonomi
Indonesia yang masa depannya tergantung, dan pada saat yang bersamaan ikut
memengaruhi, dinamika di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Ketiga, gagasan poros maritim
Jokowi tidak berhenti pada level abstraksi dan konseptualisasi. Gagasan itu
menjadi operasional ketika platform Jokowi juga memuat sejumlah agenda konkret
yang ingin diwujudkan dalam pemerintahannya ke depan. Misalnya, rencana
pembangunan ”tol laut” untuk menjamin konektivitas antarpulau, pengembangan
industri perkapalan dan perikanan, pembangunan pelabuhan, perbaikan
transportasi laut, serta fokus pada keamanan maritim, mencerminkan keseriusan
dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dengan kata lain,
gagasan poros maritim juga bagian penting dari agenda pembangunan nasional.
Strategi maritim nasional
Pertanyaannya, bagaimana strategi
untuk mewujudkan gagasan poros maritim itu? Penting disadari, upaya mewujudkan
visi Indonesia sebagai ”Poros Maritim Dunia” perlu proses dan waktu tidak
singkat. Namun, kita tak boleh terpaku pada perbincangan mengenai cita-cita,
tetapi sudah harus segera mulai bekerja membangun fondasi yang kuat bagi
perwujudan cita-cita itu.
Kerja untuk mewujudkan gagasan
poros maritim dunia itu perlu difokuskan setidaknya pada tiga strategi dasar.
Pertama, kesiapan sumber daya manusia. Hal ini perlu dimulai dengan melakukan
pengarusutamaan wawasan bahari ke dalam proses pendidikan. Indonesia juga perlu
menyiapkan keahlian di berbagai bidang kelautan, mulai dari yang bersifat
teknis, teknologi, sampai ahli-ahli strategi dan hukum laut internasional. Pada
level yang lebih strategis, bangsa Indonesia juga perlu memperkuat kesadaran
lingkungan maritim (maritime domain awareness/MDA).
Kedua, wawasan bahari dan MDA
perlu ditopang oleh, dan dituangkan dalam, determinasi untuk melakukan
penguatan infrastruktur maritim. Fokus pada pembangunan infrastruktur ini sudah
tertuang dalam rencana kerja agenda pembangunan Jokowi-Jusuf Kalla. Ketiga,
pembangunan maritim perlu biaya yang besar, ketersediaan teknologi yang cukup,
dan waktu yang panjang. Sulit rasanya membayangkan semua itu dapat dilakukan
oleh Indonesia secara mandiri.
Karena itu, Indonesia perlu
menyusun kerangka kerja sama kemitraan maritim multilateral untuk mewujudkan
cita-cita dan pelaksanaan agenda pembangunan poros maritim ini. Misalnya,
Indonesia dapat membentuk Indonesia Maritime Partnership Initiative (Prakarsa
Kemitraan Maritim Indonesia) bersama Jepang, Tiongkok, India, Korea Selatan,
dan Singapura.
Tantangan dalam menjalankan
ketiga strategi itu tentunya tak mudah untuk diatasi. Namun, Indonesia tidak
memiliki pilihan lain, kecuali segera mengambil dan memulai upaya untuk
mengembalikan jati dirinya sebagai negara kepulauan, yang berada di antara dua
samudra strategis. #(Man, diolah dari berbagai macam sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar